
Pameran mobil klasik Otoblitz International Classic Car Show 2010, 23-26 Desember 2010, di Balai Kartini Jakarta. (Wawan Priyanto/TEMPO)
TEMPO Interaktif, Jakarta - Entah berapa kali Ardian Nugraha dan Sekar Damayanti membalik-balik lembaran brosur di tangannya saat berada di ruang pamer satu dealer mobil asal Jepang yang terletak di Bintaro, awal pekan lalu. Sesekali Yanti--panggilan Sekar Damayanti--menghitung besaran harga yang tertera di brosur di tangannya.
Pasangan yang baru menikah setahun lalu itu mengaku berpikir ulang untuk membeli mobil. Musababnya, harga mobil yang diidamkan mereka ternyata telah naik meski tahun 2011 baru berjalan beberapa hari. Bunga pinjaman dengan jangka waktu tertentu yang dipilih mereka pun sewaktu-waktu bisa melonjak.
"Ongkos operasionalnya juga bakal mahal karena harus membeli bahan bakar non-Premium. Buat apa mengangsur mobil tapi berat di ongkos?" ujar Ardian.
Sejatinya, tidak hanya Ardian yang mungkin tak bisa mewujudkan cita-citanya. Kalangan industri yang tergabung dalam Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pun memiliki persoalan yang sama: gagal mencapai target.
Data sementara Gaikindo melansir, pada 2010 angka penjualan otomotif mencapai rekor baru, yaitu 762.980 unit. Angka ini naik sekitar 57 persen dibanding pada 2009, yang tercatat 486.061 unit.
Dengan tren yang terus naik, Jongkie D. Sugiharto, Ketua I Gaikindo, mengaku optimistis penjualan mobil pada 2011 bakal menyentuh angka 850 ribu unit lebih. "Namun itu dengan catatan tak ada kenaikan pajak dan kenaikan harga bahan bakar minyak," kata Jongkie, yang juga Presiden Direktur PT Hyundai Mobil Indonesia.
Hanya, moncernya harapan itu seolah redup tersaput beberapa kebijakan, baik yang telah maupun yang akan diberlakukan. Selain bea balik nama kendaraan bermotor dan pajak kendaraan bermotor yang membuat harga mobil naik, penerapan kebijakan pembatasan konsumsi Premium untuk mobil pelat hitam telah membuat ketar-ketir calon konsumen dan industri.
Situasi yang sama pernah terjadi pada 2005. Kala itu harga BBM naik 100 persen, yang berujung pada penurunan angka penjualan mobil sampai 30 persen.
"Sebenarnya saat ini kondisi ekonomi makro kita tengah bagus. Inflasi masih single digit, suku bunga acuan dari Bank Indonesia masih tetap 6,5 persen, nilai tukar stabil. Ini cukup menjanjikan," ujar Rizwan Alamsjah, Ketua IV Gaikindo yang juga Marketing Director PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors, agen tunggal pemegang merek (ATPM) Mitsubishi.
Padahal dari perhitungannya, bila konsumen yang sedianya menggunakan Premium terpaksa harus membeli Pertamax, berarti mereka harus mengeluarkan biaya tambahan. Hitungan Rizwan menunjukkan ada selisih 44-50 persen lebih mahal antara Premium dan Pertamax.
Pendapat senada diungkapkan oleh Teddy Irawan, Vice President Sales & Marketing PT Nissan Motor Indonesia. Memang dampak pembatasan Premium dan kenaikan tarif beberapa perpajakan tersebut tidak akan serta-merta langsung dirasakan pada saat itu juga.
"Di masing-masing daerah dampak yang dihasilkan juga berbeda, karena kebijakan itu berlaku hanya di daerah tertentu dengan besaran berbeda," kata Teddy.
Meski dalam lingkup nasional dampak kebijakan terbilang kecil, di Jakarta dan sekitarnya cukup merepotkan bagi industri mobil. Pasalnya, lebih dari 50 persen penjualan mobil berada di wilayah itu. "Apalagi di wilayah ini penerapannya berbarengan, karena pembatasan Premium mulai April," Teddy menambahkan.
Dampak lain yang tak kalah pentingnya adalah menurunnya daya beli. Maklum, sebagian besar dari pembelian mobil yang ada selama ini dilakukan secara kredit, jumlahnya sekitar 70-75 persen dari total penjualan mobil.
"Artinya, sebagian besar pembeli mobil adalah segmen yang sensitif terhadap harga," ujar Endro Nugroho, Direktur Pemasaran PT Suzuki Indomobil Sales.
Calon konsumen akan berpikir ulang untuk membeli mobil karena merasa bebannya bertambah berat dengan kenaikan ongkos operasional. Sebab, di satu sisi mereka juga harus membayar angsuran saban bulan.
Pengamat otomotif Suhari Sargo mengatakan, meski permintaan mobil penumpang masih ada, jumlahnya akan sedikit melorot karena terjadinya pergeseran pilihan. "Calon konsumen akan cenderung memilih mobil yang irit bahan bakar atau model yang bermesin kecil. Sedangkan bagi pembeli pemula kemungkinan besar menunda pembelian," ujarnya.
Suhari memperkirakan mobil jenis city car dan multi-purpose vehicle atau mobil keluarga berukuran kecil menjadi pilihan favorit konsumen. "City car akan dipilih oleh kalangan usia muda atau pasangan keluarga kecil di perkotaan," dia menerangkan.
Adapun jenis kedua dipilih oleh keluarga di perkotaan tapi dengan usia yang lebih dewasa. Hal itu tak lepas dari budaya masyarakat yang kerap saling berkunjung dan bepergian bersama keluarga. "Mereka akan memilih mobil bermesin kecil tapi bertenaga. Mobil dengan karakter itulah yang bakal laris," kata Suhari.
Lantas bagaimana Gaikindo menyikapinya? Ketua I Gaikindo Johnny Darmawan mengatakan Gaikindo telah mempersiapkan tiga skenario. Ketiga skenario itu adalah skenario booming, most likely, dan konservatif. Skenario pertama menggunakan asumsi bila penjualan mobil mencapai 850 ribu unit. Skenario kedua angka penjualan diperkirakan mencapai sebesar 750 ribu unit.
"Sedangkan konservatif terjadi jika penjualan mobil hanya sekitar 650-660 ribu unit," ujar dia
Optimisme sudah membubung. Hampir semua kalangan ATPM punya satu kata sepakat: penjualan otomotif nasional akan kembali mencatatkan rekor baru di tahun Kelinci Emas 2011, dengan syarat tidak ada hal-hal yang mengganggu.
ARIF ARIANTO | RAJU FEBRIAN