Limbah Baterai Kendaraan Listrik, Tanggung Jawab Siapa?
Reporter: Gooto.com
Editor: Kusnadi Chahyono
Senin, 30 Januari 2023 07:00 WIB
Struktur BEV yang dimiliki oleh Hyundai Motor Group - Electric Global Modular Platform (E-GMP). (Foto: Hyundai)
Iklan
Iklan

GOOTO.COM, JakartaKendaraan listrik selama dua tahun terakhir terus didorong oleh pemerintah Indonesia yang mengacu pada Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan, sesuai Peraturan Presiden No. 55 tahun 2019.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pengamat teknologi mobil listrik Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Ir. Agus Purwadi M.T. dalam sebuah diskusi menyampaikan bahwa hadirnya kendaraan listrik tentunya menghadirkan masalah baru dalam pengolahan limbah baterai kendaraan listrik.

“Kita harus punya standarisasi terhadap baterai. Saat ini untuk motor roda dua saja ada sepuluh jenis dimensi dan tiga level tegangan. Hal perlu segera diselesaikan supaya punya nilai ekonomis, seperti minuman galon bisa ditukar-tukar. Apabila standarnya kuat, recycle lebih mudah, karena teknologinya jelas. Standarisasi sangat penting,” kata Agus 25 Januari 2023. 

e-TNGA platform, struktur baterai di Toyota bZ4X yang juga berbagi dengan Subaru. (foto: Toyota

Perihal masa akhir dari baterai sendiri, beberapa manufaktur sudah mulai menjual mobil berbasis baterai di Indonesia. Usia baterainya untuk motor roda dua sekitar tiga tahun sedangkan untuk roda empat seperti Hyundai, Wuling, dan Toyota usia baterainya sekitar 8 tahun.

Sudah dipastikan bahwa paling cepat tahun 2025, motor yang berbasis baterai sudah mulai memproduksi baterai bekas yang sudah tidak layak pakai. Sedangkan untuk roda empat paling cepat sekitar tahun 2030.

“Baterai itu harus di-recycle, itu toxic material, limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), nggak boleh dibuang terbuka, harus ada penampungannya. Makanya standar internasional menyatakan, bila jualan mobil listrik harus tanggung jawab menampung baterainya. Jadi baterainya harus ditarik lagi oleh manufaktur,” ujar Agus.

E-GMP berada di bagian bawah lantai bodi mobil hyundai, sehingga tetap aman. (Foto: Hyundai)

Dirinya menjelaskan bahwa di Indonesia saat ini  manufaktur besar wajib melakukannya. Seperti Hyundai, Toyota, Wuling juga sudah menyatakan tanggung jawab terhadap pengelolaan limbah baterainya. “Tanggung jawab manufaktur terhadap limbah baterai itu, harus mengelola dari end of life baterai tersebut. Jadi limbah baterainya harus dia yang ambil, nggak boleh konsumen yang disposed (buang). Walaupun mereka (manufaktur) yang menyerahkan ke pihak lain,” ungkap Agus.

Agus melanjutkan bahwa bila kapasitas penyimpanan baterai sudah menyusut hingga 70 persen itu harus segera diganti. “Tanggung jawab baterai itu tidak boleh dilepas ke konsumen. itu harus diolah oleh manufakturnya. Kalau masih bisa diolah, dijadikan energi storage, umurnya masih bisa 5 tahun lagi. Kalau memang sudah sudah habis, baru di-recycle,” kata dia.

Agus menegaskan bahwa sebagai catatan baterai recycle tersebut tidak boleh digunakan lagi sebagai baterai operasional kendaraan listrik. “Bisa juga di cek lagi, di kelompokan mana yang kira-kira masih memenuhi syarat bisa di-refurbish. Seperti Thailand bisa jadi second grade. Kalau gak bisa, baterai ini masuk ke energy storage. Bila sudah tidak bisa, dilanjutkan untuk recycle,” ujar dia. 

Tapi harus ada perusahaan dan aturan yang mewajibkan untuk bertanggung jawab terhadap EOL dari baterai kendaraan listrik. “Bila tidak, buang limbah B3 ini sembarangan, efeknya mencemari lingkungan, karena toxic. Efeknya seperti limbah radioaktif, sangat beracun. Sebab bisa meracuni struktur tanah hingga lingkungan,” tutur dia.

Baca juga: 462.000 Mobil Ford Kena Recall, Kamera Belakangnya Bermasalah

Ingin berdiskusi dengan redaksi mengenai artikel di atas? Mari bergabung di grup Telegram GoOto

Iklan

 

 

 

BERITA TERKAIT


Rekomendasi